Perbedaan Jumlah Ismiyyah dan Jumlah Fi’liyyah

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fnasional.tempo.co%2Fread%2F415133%2Fterjemahan-3-226-ayat-al-quran-pemerintah-keliru&psig=AOvVaw2_EANGdT56jiNc4PlbWhwy&ust=1635248075391000&source=images&cd=vfe&ved=0CAwQjhxqFwoTCJiQlom85fMCFQAAAAAdAAAAABAJ


Dari segi makna (dilalah), Jumlah Ismiyah (kalimat yang menggunakan kata benda) menunjukkan arti Tsubut (tetap) dan Istimrar (terus menerus). Disamping itu ia dianggap lebih kuat dari jumlah Fi’liyyah jika khobarnya mengandung Dhomir mubtada’atau pada tawabi’nya yang mengandung dhomir mubtada’. Mayoritas ulama balaghoh menjelaskan dan mengemukakan alasannya bahwa pada Jumlah Ismiyyah mengandung dua kali : Pertama dengan menyandarkan khobar kepada lafaz mubtada’. Kedua dengan menyandarkan khobar dan tawabi’nya kepada dhomir mubtada’ yang mustatir pada khobar atau pada tawabi’nya, atau pada kata-kata yang berhubungan dengannya. Contoh : Jika kita mengatakan   " زيد قائم " atau  " زيد قام "   pada lafaz   قائم  dan  قام  mengandung  dhomir yang kembali kepada زيد dengan demikian maka tercapailah penyandaran  kata القيام kepada kata زيد dan penyandaran  kata قام/قائم  kepada dhomirnya. Dengan demikian mereka mengatakan bahwa penyandaran kata sebanyak dua kali lebih kuat dari satu kali jika dilihat pengulangan kalimat sebanyak dua kali itu dari segi penguatannya. Adapun khobar mubtada’ yang tidak mengandung dhomir mubtada’ maka kalimatnya dianggap biasa saja. Contoh : 

القمح البرّ  – القمح البرّ الذي نصنع منه خبزا ناكله 

Dengan demikian maka Jumlah Ismiyyah diatas sama kuatnya dengan

jumlah fi’liyyah yang sifatnya biasa saja. 

Sedangkan Jumlah Fi’liyah (kalimat yang menggunakan kata kerja) menunjukkan arti Tajaddud (timbulnya sesuatu atau baru) dan Huduts (temporal). Ungkapan yang mengikuti pola pertama disebut juga dengan kalimat Nominal; sementara yang menggunakan kata kerja, disebut juga dengan kalimat Verbal. Kedua kalimat ini : nominal dan verbal merupakan unsur pokok yang membentuk bahasa ujaran atau tulisan. Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang diungkapkan dengan kalimat verbal, seperti dalam surat Ali Imran(3) : 134 )

  :ٱ لذَِّينََّ َينُفقُِونَّ َفيِ    ٱل         سَّ رَّاءَِٓ         وََّٱل    ضَّ رَّاءَِٓ        وََّٱلۡكَّظَِٰمِينََّ          ٱلۡغَّيۡظََّ       وََّٱلعَّۡافيِنََّ َعَّنِ         ٱل ناَّ     سَِ    وََّٱ       للَََُّ

     يحُِ بَُٱلمُۡحۡسِنيِنَََّ٤٣١ 

Dalam ayat diatas dijelaskan dengan menggunakan jumlah fi’liyyah     (ينُفِقُونََّ) dan tidak menggunakan kalimat nominal (jumlah ismiyyah).

Berbeda dengan masalah keimanan diungkapkan dengan kalimat nominal

seperti dalam surat (al-Hujurat (49) : 15) :

إ نَِّمَّا ٱلمُۡؤۡمِنُونََّ ٱل ذَِّينَََّءَّامَّنُواْ بَٱِ           للََِّ وَّرسَُّولهَِۦَِثُ       مَّ لمََّۡيرَّۡتاَّبوُاْ وَّجَّهََّٰدُواْ بأِمَّۡوَّلَٰهِِمۡ وَّأنَّفُسِهمَِۡ

      فيَِسَّبيِلِ ٱ للََّهِ أوُْلَّٓئَٰكَََِّ هُمُ ٱل      صَّدَِٰقوُنَََّ

     

Dalam ayat diatas dijelaskan dengan menggunakan jumlah ismiyyah    

(ٱلمُۡؤۡمِنُونََّ). Kedua hal ini, baik kata (ينُفِقُونََّ) maupun kata (ٱلمُۡؤۡمِنُونََّ) diungkapkan

demikian karena Infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan. Ia mempunyai hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.

Yang dimaksud tajaddud dalam fi’il madhi (kata kerja masa lampau) ialah perbuatan itu timbul-tenggelam,  kadang ada dan terkadang tidak ada. Sedang dalam fi’il mudhari’ (kata kerja masa kini atau masa akan datang, perbuatan itu terjadi berulang-ulang. Fi’il atau kata kerja yang tidak dinyatakan secara jelas dalam hal ini sama halnya dengan fi’il yang dinyatakan secara jelas. Karena itu para ulama berpendapat, salam yang disampaikan oleh Ibrahim a.s. lebih berbobot (ablagh) daripada yang disampaikan para malaikat kepada Ibrahim, seperti yang tercantum dalam firman Allah SWT sebagai berikut :  

إذََِۡدَّخَّلوُاَْعَّليَّۡهَِ فَّقَّالوُاْ سَّلَّمَٰٗاَۖقاَّلََّسَّلَّمََٰٞقوَّۡمٞ   مُنكَّرُونََّ

Kata  سَّلَّمَٰٗاََۖ “ salaman “ dalam ayat diatas dinasabkan karena ia masdar

yang menggantikan fi’il. Asalnya :  نسَُلِّمْ عَليَْكَ سَلامًَا . Ungkapan ini menunjukkan

bahwa pemberian salam dari mereka baru terjadi saat itu.  Berbeda dengan jawabannya,  قَالَ سَلا مَ عَليَْكُمْ . Lafaz “ salamun “ di rafa’kan  karena menjadi mubtada’ ( subjek ) yang khabar ( prediketnya) tidak disebutkan. Kalimat itu lengkapnya adalah  عَليَْكُمْ سَلا مَ , yang menunjukkan tetapnya salam. Di sini nampaknya Ibrahim bermaksud membalas salam mereka dengan cara yang lebih baik dari yang mereka sampaikan kepadanya, demi melaksanakan etika yang diajarkan Allah Swt dalam surat an-Nisa’ (4):86:    وَإِذَّاَ حُ ييِتُم بتَِّحِ يةَّٖ فحََّّ يوُاْ بأِحَّۡسَّنَّ مِنۡهَّآ أوَّۡ رُ دُوهَّآَٓۗإ نَِّ ٱ للََََّّكَّانََّعَّليََّٰ كُ لَِشَّيۡءٍ حَّسِيبًاَ

 

Artinya :  Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.

 

Di samping juga merupakan penghormatan Ibrahim kepada mereka.  

Comments

Popular posts from this blog

Makalah atau Laporan Osmosis Pada Telur

Laporan wawancara budidaya ikan konsumsi ( ikan lele )

HASIL WAWANCARA BUDIDAYA BEBEK

MATERI KERAJINAN BERBAHAN LIMBAH LENGKAP

Tegak kaki dan diagnose kepincangan kuda-sapi

RANGKUMAN POTENSIAL LISTRIK DAN KAPASITOR

jumlah fi'liyah lengkap

Translate

Pageviews last month

terima kasih

jangan lupa datang kembali, komen, dan request