Prolapsus Bola Mata yang Disertai Miasis pada Anjing

 Prolapsus atau proptosisbulbus oculimerupakan kondisi bola mata yang keluar dari rongga mata (Mitchell 2008). Prolapsus bola mata dapat disebabkan karena trauma kecelakaan atau berkelahi sehingga mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga orbital. Prognosis pada kejadian prolapsus bulbus oculi dinyatakan baik apabila mata masih dapat melihat, propotosis ringan, durasi singkat, tidak mengalami hyphema, kerusakan muskulus ekstraokuler ringan, dan pemeriksaan fundus normal (Fossum 2019). Pengangkatan keseluruhan bola mata atau enukleasi dilakukan jika mata mengalami kebutaan dan nyeri yang sudah tidak dapat diterapi, pertumbuhan tumor pada bola mata dan jaringan disekitarnya, kerusakan jaringan mata yang meluas, serta supurasi pada mata (Mitchell 2008). Berdasarkan ras, anjing brachycephalic (kepala pendek dan lebar) termasuk Shih Tzu, Pekingese, English Bulldog, French Bulldog, Boston Terrier dan Pug memiliki faktor predisposisi terhadap prolapsus bola mata. Ras brachycephalic memiliki fisura makropalpebral dan bola mata yang menonjol, sehingga sklera anjing ras ini lebih banyak terpapar daripada pada anjing ras lain (Maggs et al. 2008). Kejadian prolapsus bola mata dapat mengakibatkan berbagai komplikasi, salah satunya adalah miasis. Luka terbuka yang bernanah dapat memicu lalat untuk hinggap dan bertelur. Kerusakan jaringan yang terinfeksi dapat menimbulkan bau yang khas dan menarik lalat betina untuk meletakan telurnya pada luka tersebut (Caissie et al. 2008). Hal tersebut merupakan faktor terjadinya miasis yang memberi efek negatif terhadap luka dan persembuhanya. Miasis adalah infestasi larva lalat ke dalam jaringan hidup hewan maupun manusia. Beberapa jenis lalat diidentifikasi sebagai penyebab dari hal ini, namun parasit yang bersifat parasit obligat adalah Chrysomya hezziana. Infeksi dari parasit ini dapat menyebabkan gangguan ringan, sedang, dan bahkan sampai mengakibatkan kematian (Kaswardjono et al. 2019).

Amoksisilin merupakan suatu antibiotik semisintetik penicillin yang memiliki cincin β-laktam memiliki aktivitas sebagai antibakteri yang disebabkan oleh mikroorganisme yang rentan. Amoksisilin termasuk antibiotik spektrum luas dan memiliki bioavailabilitas oral yang tinggi, dengan puncak konsentrasi plasma dalam waktu 1-2 jam. Antibiotik amoksisilin ini juga dapat digunakan pada terapi pneumonia dan penyakit lain, termasuk infeksi bakteri pada telinga, tenggorokan, sinus, kulit, saluran kemih, abdomen dan darah (Sofyani et al. 2018).

Meloxicam sering digunakan sebagai analgetik dan anti inflamasi yang diberikan setelah operasi. Seperti halnya golongan lain dari OAINS, cara kerja utama dari Meloxicam ini adalah inhibisi dari enzim siklooksigenase. OAINS menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Meloxicam dan OAINS lainnya diberikan selama masa inflamasi (2-7 hari) untuk mengurangi efek dari proses inflamasi tersebut. Salah satu efek samping dari pemberian OAINS adalah terjadinya delayed union ataupun nonunion. Gangguan pada proses biosintesis prostaglandin yang disebabkan oleh siklooksigenase inhibitors dapat berpengaruh besar dalam proses pembentukan kalus setelah dilakukan operasi atau setelah mengalami fraktur (Pinandita et al. 2018).

Bioplacenton merupakan salah satu sediaan yang umum digunakan sebagai pengobatan pada penderita luka bakar. Komposisi tiap tube mengandung ekstrak plasenta dari sapi 10%, neomycin sulfate 0,5% dan Jelly base q.s. ekstrak plasenta mengandung stimulator biogenik yang mempunyai aksi stimulasi pada proses metabolik didalam sel. Efek stimulasi ini telah ditunjukkan dalam studi in vitro dan in vivo seperti peningkatan konsumsi oksigen didalam sel hati, peningkatan regenerasi sel, dan penyembuhan luka. Neomycin sulfate merupakan antibiotik topikal dengan potensi yang tinggi terhadap banyak strain Gram negatif (Muthmaina et al. 2017). 

Anjing ras Shih-Tzu jantan berumur kurang lebih dua tahun dengan berat badan 2,7 kg diperiksa di Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Pemilik mengeluh bahwa bola mata bagian kiri anjing mengalami perdarahan, prolapsus dan miasis. Anjing tidak diketahui status vaksinasi dan pemberian obat cacing karena anjing diselamatkan dari jalanan empat hari sebelum anjing diperiksa. Setelah diselamatkan, anjing belum pernah diberikan pengobatan. Anjing kasus diberi pakan dog food kering dua kali sehari dan minum yang bersumber dari PDAM. Nafsu makan dan minum anjing kurang baik dengan urinasi normal namun terjadi konstipasi. 

Berdasarkan pemeriksaan fisik, mata kiri anjing sudah tidak berfungsi, dan kondisi keseluruhan nampak lesu. Pemeriksaan umum diperoleh data frekuensi detak jantung 100x/menit, frekuensi pulsus 100 kali/menit, frekuensi respirasi 29 kali/menit, suhu tubuh 39oC dan nilai capillary refill time (CRT) >2 detik. Pada mata kiri anjing terlihat jelas adanya luka terbuka pada rongga mata bagian kiri yang terdapat miasis dengan prolapsus bola mata (Gambar 1a), terjadinya pembengkakan, sekitar kulit mengalami eritema, dan kerapuhan dari rambut. Sehari setelah pemeriksaan, mata hewan kasus pecah, saluran lubanglubang akibat miasis saling menyatu hingga menembus satu sama lain.  

Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap dilakukan sesaat hewan diperiksa dengan menggunakan mesin analisa otomatis (iCell-800 Vet®, iCubio, Cina). Berdasarkan hasil pemeriksaan, hewan kasus mengalami Anemia mikrositik hiperkromik, tromositopenia, dan limfositosis.

Diagnosis dilakukan dengan melihat tanda klinis dan didukung dengan pemeriksaan fisik. Hasil inspeksi menyatakan bahwa mata sudah tidak aktif dan terdapat darah yang mengering di dalam rongga mata dengan disertai miasis. Berdasarkan temuan klinis dan didukung dengan pemeriksaan fisik, anjing didiagnosa mengalami prolapsus bola mata disertai miasis dengan prognosa dubius. 

Anjing yang mengalami prolapsus bola mata dilakukan penanganan dengan pembersihan larva dan debridement pada rongga mata. Sebelum dilakukan tindakan, anjing dipuasakan makan selama 12 jam untuk mengurangi refleks muntah pada saat operasi. Hewan diberikan premedikasi berupa atropine sulfat (0,02 mg/kg bb) dan anastesi berupa kombinasi ketamin (10 mg/kg bb) dan xylazine (1 mg/kg bb). Setelah teranestesi, rongga mata dilakukan pembersihan larva dan debridement dengan menggunakan larutan NaCl fisiologis dan hidrogen peroksida 1% ke dalam luka sehingga larva yang tersembunyi dapat keluar dan selanjutnya larva dikeluarkan menggunakan pinset. Setelah semua larva dibersihkan, lubang-lubang akibat miasis semakin jelas terlihat

Selanjutnya dilakukan debridement pada lubang dan luka untuk menghilangkan jaringan-jaringan yang sudah rusak agar ketika penyembuhan jaringan baru dapat tumbuh dan menutup dengan baik. Luka dijahit engan menggunakan jahitan pola sederhana terputus menggunakan benang silk (Sudisma et al. 2016). Antibiotik amoksisilin (Betamox®) dengan dosis 0,1 ml/kg diinjeksikan selama 5 hari dengan interval 2 hari sekali. Selain itu, anjing kasus diberikan obat secara oral yaitu meloxicam yang dijadikan pulveres sebanyak 0,3 mg perhari selama 5 hari dan Caviplex® sirup sebanyak 1 ml perharinya. Selain itu juga diberikan obat luar berupa salep Bioplacenton® yang dioleskan dua kali sehari pada luka. Luka dibersihkan dengan mengganti perban setiap hari. Pakan hewan diganti menjadi wet food (Pedigree®). Setelah empat hari dilakukan tindakan, anjing kasus mengalami kematian

Berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik, anjing nampak lesu, nafsu makan dan minum tidak baik, suhu normal, urinasi normal namun terjadinya konstipasi, adanya prolapsus bola mata dan terdapat lubang-lubang yang saling menembus dengan ukuran lubang yang berbeda-beda dan berisikan larva, sehingga anjing didiagnosis menderita prolapsus bola mata yang disertai dengan miasis. Prolapsus pada hewan kasus mungkin terjadi karena trauma. Prolapsus bola mata akibat trauma terjadi karena adanya benturan pada bagian belakang kepala sehingga keluarnya bola mata dari tempatnya yang normal (kelopak mata) karena adanya spasmus dari musculus orbicularis oculi. Tekanan pada lengkung zigomatik akan mendorong bola mata keluar dari palpebrae fissure dan sering disebut luksasio (Tilley dan Smith 2003). Miasis pada hewan kasus dapat terjadi dengan diawali dengan adanya prolapsus bola mata yang mengakibatkan adanya luka terbuka. Luka terbuka sangat rentan terinfeksi bakteri maupun parasit seperti lalat betina C. bezziana yang tertarik akan bau darah dari luka tersebut dan meletakkan telurnya pada luka tersebut, selanjutnya larva bergerak menuju jaringan otot sehingga menyebabkan luka semakin besar. Larva hidup dengan cara memakan jaringan inangnya, termasuk cairan substansi tubuh (Zumpt 1965). Kondisi tersebut menyebabkan tubuh hewan lemas, nafsu makan menurun, demam, penurunan produksi susu dan penurunan berat badan yang dapat menyebakan terjadinya anemia (Sukarsih et al. 1999). Siklus hidup lalat C. bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa dan lalat. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-rata 180 telur). Telur akan menetas menjadi larva 1 (L1) dalam waktu 12 - 24 jam atau sepuluh jam pada suhu 30°C, selanjutnya LI menuju ke daerah luka yang basah. Sehari kemudian, LI akan berubah menjadi larva 2 (L2) dan mulai membuat terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara masuk ke dalam jaringan inang, aktivitas larva dalam jaringan tubuh mengakibatkan luka semakin besar dan kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat sehingga mengundang lalat-lalat lainnya untuk juga hinggap dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri (Wardhana 2006). Jarak antara adanya telur lalat pada luka sampai menunjukkan tanda klinis yaitu sakit karena larva membuat terowongan pada dalam tubuh inang adalah 1-2 hari. Apabila luka terbuka, maka akan dijumpai larva yang bergerombol. Larva akan menyebabkan luka semakin luas dengan membuat terowongan pada jaringan kulit dan otot (Farkas et al. 2009). Hal ini menyebabkan saluran pada lubang-lubang menembus satu sama lain. Infeksi larva tidak menimbulkan gejala klinis yang spesifik dan bervariasi tergantung lokasi luka. Gejala klinis yang terjadi pada hewan berupa peradangan, demam, nafsu makan yang berkurang, kerusakan jaringan, hipereosinofilia serta anemia (Humphrey et al. 1980). Sama dengan studi tersebut, anjing kasus menunjukkan klinis nafsu makan yang berkurang dan anemia. Dengan infestasi larva yang parah, dapat mengakibatkan syok pada hewan. Syok disebabkan oleh enzim dan zat beracun yang dikeluarkan oleh larva. Berdasarkan lokasi infeksi, itu adalah keadaan darurat (Rahman 2017). Dalam penelitian McGraw dan Turiansky (2008), menemukan bahwa miasis dapat menyebabkan kerusakan jaringan secara masif, kehilangan penglihatan dan pendengaran, dan bahkan kematian. Oleh karena itu, penegakan diagnosis dan perawatan segera diperlukan untuk mengurangi adanya infeksi lainnya. Pada saat proses recovery hari pertama, kondisi anjing terlihat aktif, namun nafsu makan dan minum masih buruk. Pada hari pertama dan hari kedua pasca operasi belum menunjukkan hasil yang signifikan dengan suhu tubuh masih normal 38oC, luka masih basah, kemerahan di sekitar luka dan mengalami kebengkakan. Menurut Argulana (2008), warna merah pada luka merupakan hasil dari suatu peradangan terhadap luka. Hari ke-3 dan ke-4 pascaoperasi luka terlihat masih sedikit basah dan merah tetapi sudah ada beberapa bagian dari luka yang lebih kering dibanding luka bagian lainnya. Luka yang mulai mengering terjadi karena pembentukan granulasi jaringan yang terjadi pada fase proliferasi yaitu fibroblast yang dibantu oleh sel makrofag merangsang untuk membentuk pembuluh darah baru atau membentuk jaringan baru (Imas et al. 2015). Pada hari ke-4 anjing kasus ditemukan mati secara tiba-tiba, yang diduga diakibatkan oleh beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Kasus miasis pada luka dapat menyebabkan terjadinya kematian beberapa hari setelah infeksi dari miasis yang diakibatkan kontaminasi dari bakteri yang dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah menyebabkan toksemia dan septisemia (Islam et al. 2015). Pada dasarnya, larva mendorong proses penyembuhan luka yang bekerja dengan berpusat pada kemampuan untuk merangsang jaringan yang masih baik dan meningkatkan oksigenasi jaringan pada luka kronis. Dari proses tersebut, tubuh memproduksi allantoin (2,5-dioxo-4-imadazolidinyl urea) atau amonia bikarbonat yang berfungsi untuk pertumbuhan jaringan granulasi yang aktif (Nigam et al. 2006). Di samping itu, pertumbuhan dan invasi larva semakin meningkat kedalam jaringan tubuh sehingga menyebabkan nekrosis jaringan yang progresif. Oleh karena itu, invasi larva menyebabkan peradangan dan produksi toksin yang dapat mencegah terjadinya penyembuhan luka (Gopalakrishnan et al. 2008). Sehingga dengan adanya toksin dari larva, maka penyembuhan jaringan tidak dapat terjadi, tetapi tubuh inang terus menerus memproduksi amonia yang menyebabkan keracunan amonia dalam tubuh inang yang dapat mengakibatkan kematian. Kematian juga dapat disebabkan karena pada kasus miasis yang parah, larva dapat menginvasi sistem syaraf yang menyebabkan meningitis, invasi pada mata yang dapat mengakibatkan kebutaan, menginvasi telinga, paralisis (Uzun 2004). Selain itu meloxicam dapat menyebabkan kondisi lebih buruk karena obat anti-inflamasi nonsteroid menghambat vasodilatasi dari PGE2 dan produksi PGE2 pada ginjal khususnya dalam menyebabkan hipolovemia sehingga dapat mengakibatkan perfusi ginjal terganggu (Bennett et al. 1996). Syok hipovolemik terjadi akibat penipisan volume intravaskular, baik kehilangan cairan ekstraseluler atau kehilangan darah. Tubuh mengimbangi peningkatan tonus simpatis yang mengakibatkan peningkatan denyut jantung, peningkatan kontraktilitas jantung, dan vasokonstriksi perifer. Perubahan pertama pada tanda-tanda vital yang terlihat pada syok hipovolemik termasuk peningkatan tekanan darah diastolik dengan tekanan nadi yang menyempit. Ketika volume terus menurun, tekanan darah sistolik turun. Akibatnya, pengiriman oksigen ke organ vital tidak dapat memenuhi kebutuhan. Sel-sel beralih dari metabolisme aerob ke metabolisme anaerob, menghasilkan asidosis laktat. Ketika dorongan simpatis meningkat, aliran darah dialihkan dari organ lain untuk menjaga aliran darah ke jantung dan otak. Ini menyebarkan iskemia jaringan dan memperburuk asidosis laktat. Jika tidak diperbaiki, akan terjadi compromise hemodinamik yang memburuk dan akhirnya mati (Annane et al. 2013).

Annane D, Siami S, Jaber S, Martin C, Elatrous S, Declère AD, Preiser JC, Outin H, Troché G, Charpentier C, Trouillet JL, Kimmoun A, Forceville X, Darmon M, Lesur O, Reignier J, Abroug F, Berger P, Clec’h C, Cousson J, Thibault L, Chevret S. 2013. Effects of fluid resuscitation with colloids vs crystalloids on mortality in critically ill patients presenting with hypovolemic shock. JAMA .310(17): 1809- 1817. Argulana G. 2008. Aktivitas Sediaan Salep Batang Pohon Pisang Ambon (Musa Paradisiaca Var Sapientum) Dalam Proses Penyembuhan Luka Pada Mencit (Mus Musculus Albumin). [Disertasi]. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor: Bogor. Bennett WM, Henrich WL, Stoff JS. 1996. The renbby performingal effects of nonsteroidal anti-inflammatory drugs: summary and recommendations. Am J Kidney Dis. 28: 56-62. Caissie R, Beaulieu F, Giroux M, Berthod F, Landry PÉ. 2008. Cutaneous myiasis: diagnosis, treatment, and prevention. Journal of oral and Maxillofacial Surgery. 66(3):5 60-568. Farkas R, Hall MJR, Bouzagou AK, Lhor Y, Khallayoune K. 2009. Traumatic myiasis in dogs caused by wohelfahertia magnifica and its importans in the epidemiology of wohelfahertiosis of livestock. J Mad Vet Entomol. 23: 80-85. Fossum TW. 2019. Small Animal Surgery5th Edition. Missouri (USA) :Elsevier Health Sciences. Gopalakrishnan S, Srinivasan R, Saxena SK, Shanmugapriya J. 2008. Myiasis in different types of carcinoma cases in southern India. Indian J Med Microbiol. 26: 189-92. Humphrey JD, Spradbery JP, Tozer RS. 1980. Chrysomnya benzziana : pathology of old world screwwormfly infestions in cattle exp. Parasitol. 49: 381-397. Imas SH, Saputro SH, Wibowo NA. 2015. Pengaruh tumbuhan daun sirih terhadap proses percepatan penyembuhan luka insisi. The Sun. 2(4): 13-14. Islam MT, Mannan MA, Rahman HMR, Tarafder MM, Samad MA, Noman AA, Hossain MB, Rahman MM. 2015. Isolation and identification of associated bacteria and maggots from myiasis affected wounds of cattle and goats in Bangladesh. J Adv Vet Anim Res. 2(2) : 95-100. Kaswardjono Y, Indarjulianto S, Nururrozi A, Purnamaningsih H. 2019. Myiasis pada ruminansia: diagnosis, manajemen terapi dan pencegahan. Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner Tropis. 2(9): 67–75. Maggs DJ, Miller PE, Ofri R, Slatter DH. Slatter’s Fundamentals of Veterinary Ophthalmology 4th Edition. Edinburgh (UK): Elsevier Health Sciences. McGraw TA, Turiansky GW. 2008. Cutaneous myiasis. J Am Acad Dermatol. 58: 907- 926. Mitchell N. 2008. Enucleation in companion animals. Irish Veterinary Journal. 2(61):108-114. Muthmaina I, Harsodjo SWS, Maifitrianti. 2017. Aktivitas penyembuhan luka bakar fraksi dari ekstrak etanol 70% daun pepaya (carica papaya l.) pada tikus. Farmasains. 2(4): 39-48. Nigam Y, Bexfield A, Thomas S, Ratcliffe NA. 2006. Maggot therapy: the science and implication for CAM. Part I—history and bacterial resistance. Evid Based Complement. Alternat. Med. 3: 223–227. Pinandita T, Ismono D, Ismiarto YD, Chaidir MR. 2018. Efek pemberian meloxicam yang diberikan selama fase inflamasi terhadap proses penyembuhan tulang tikus paska open reduction internal fixation k-wire dinilai secara radiologis. JSK. 3(3):135-141. Rahman MS, Yadav SK, Hasan T, Dutta A, Chowdhury S, Sarkar S. 2017. Different clinical conditions and evaluation of factors responsible for myiasis in pet dogs in bangladesh. Research Journal for Veterinary Practitioners. 5(3): 28-33. Sofyani CM, Rusdiana T, Chaerunnisa AY. 2018. Review: validasi metode analisis kromatografi cair kinerja tinggi untuk penetapan kadar uji disolusi terbanding tablet amoksisilin. Farmaka Suplement. 1(16): 324-331. Sukarsih S, Partoutomo S, Satria E, Eisemann CH, Willadsen P. 1999. Pengembangan vaksin myasis: Deteksi in vitro respon kekebalan protektif antigen protein peritrophic membrane, pellet dan supernatant larva L1 lalat Chrysomya bezziana pada domba. JITV. 4(3): 202-208. Tilley LP, Smith FWK. 2003. Blackwell’s Five Minute Veterinary Consult: Canine and Feline. São Paulo(BR) :Manole. Uzun L, Cinar F, Beder LB, Asian T, Altintas K. 2004. Radical mastoldectomy cavity myiasis caused by wohlfahrtia magnifica. J.Laryngol.Otol. 118: 53-56. Wardhana AH. 2006. Chrysomnya bezziana penyebab miasis pada hewan dan manusia : permasalahan dan penanggulanggannya. Wartazoa. 16(3): 146-159. Zumpt F. 1965. Myiasis in Man and Animals in The Old World. London (UK) :Butterworth. 

Comments

Popular posts from this blog

Laporan wawancara budidaya ikan konsumsi ( ikan lele )

DRAMA Tukang Sayur Yang Durhaka

Tegak kaki dan diagnose kepincangan kuda-sapi

RANGKUMAN POTENSIAL LISTRIK DAN KAPASITOR

CONTOH SOAL TENTANG PANCASILA BESERTA JAWABANNYA

Tangga Nada, Akor, Aransement Lagu

UJI PROTEIN pada TEPUNG

Translate

Pageviews last month

terima kasih

jangan lupa datang kembali, komen, dan request