Infeksi Toxocara vitulorum (Toxocariosis) pada Ruminansia Besar
Infeksi Toxocara vitulorum (Toxocariosis) pada
Ruminansia Besar
Abstrak
Indonesia merupakan negara agraris
dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya berasal dari sektor pertanian dan
peternakan salah satunya usaha pembibitan dan penggemukan hewan ruminansia
besar seperti sapi dan kerbau. Namun, penyakit cacing parasit saluran
pencernaan pada hewan ruminansia kerap menjadi penghambat berkembangnya usaha
bahkan menjadi penyebab kerugian dalam sektor peternakan tersebut. Salah satu
penyakit yang kerap menyerang saluran pencernaan hewan ruminansia besar adalah Toxocariosis
yang disebabkan oleh cacing Toxocara vitulorum.
Makalah ini bertujuan memberikan edukasi kepada
masyarakat terutama peternak ruminansia besar mengenai cacing parasite saluran
pencernaan Toxocara vitulorum. Penulis telah mendeskripsikan taksonomi,
morfologi, siklus hidup, patogenesis, diagnosis, upaya pencegahan, serta
pengobatan infeksi cacing Toxocara vitulorum. Fokus penulis adalah
mengurangi infeksi cacing Toxocara vitulorum pada ternak ruminansia
besar dan meningkatkan pemahaman masyarakat, khusunya peternak, tentang
penyakit Toxocariosis.
Kata
kunci: Toxocariosis, Toxocara vitulorum, nematoda,
ruminansia besar
Pendahuluan
Toxocara
vitulorum
merupakan parasit cacing yang hidup di saluran pencernaan hewan ruminansia
besar. Toxocara vitulorum banyak ditemukan di daerah tropis maupun subtropis.
Cacing ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi, khusunya
pada hewan muda (Yudha et al. 2014). Hewan ternak yang banyak terinfeksi
oleh cacing ini adalah kerbau dan sapi. Cacing ini tidak menyerang domba,
kambing, babi, kuda, anjing ataupun kucing. Penyakit yang disebabkan oleh Toxocara
vitulorum disebut toksokariasis atau toksokariosis (Holland dan Smith
2006). Penyakit cacingan ini sangat menekan produktivitas ternak, hal ini
menjadi beban ekonomi bagi peternak secara berkepanjangan jika tidak dilakukan
pengendalian. Pedet yang menderita Toxocariosis akan kehilangan bobot
badan sebanyak 16 kg pada umur 12 minggu dibanding pedet yang bebas cacingan.
Kerugian yang diakibatkan oleh parasit ini diantaranya; penurunan produksi dan berat
badan, turunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit lain, dan bahkan dapat
menimbulkan kematian. Kejadian toxocariosis pada ternak di Indonesia
masih tergolong tinggi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pendeteksian dini
infeksi parasit Toxocara vitulorum pada ternak ruminansia besar,
sehingga dapat dilakukan pengendalian untuk menekan tingkat kejadian dan
kerugian yang ditimbulkan (Duri 2015).
Toxocara
vitulorum
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Toxocaridae
Genus : Toxocara
Spesies : Toxocara vitulorum
Cacing ini
menyerang ruminansia seperti sapi
disegala umur, dapat menular melalui kontak makanan, maupun
melalui plasenta induk yang menulari fetus sapi dalam kandungan. Stadium dewasa cacing Toxocara
vitulorum banyak dijumpai pada
anak sapi (pedet) (Agustina et al. 2013).
Siklus Hidup
Gambar 1. Siklus hidup Toxocara vitulorum
Cacing dewasa Toxocara vitulorum hidup
di bagian depan usus halus dan mampu bertelur dalam jumlah banyak. Seekor
cacing betina mampu bertelur sebanyak 200.000 telur perhari. Telur keluar
bersama tinja dan dapat bertahan terhadap udara dingin, panas, dan kekeringan
(Subronto 2001 dalam Febrianti 2015). Kemudian,telur infektif dalam tinja
tertelan oleh sapi yang sedang merumput dan menetas di usus halus menjadi
larva. Larva akan menembus mukosa dan bermigrasi ke
jaringan dengan terbawa vena porta ke hati. Sebagian larva lainnya dapat mencapai
ginjal, paru-paru, dan otak (Anderson 2000 dalam Winarso
et al. 2015). Larva pada sapi betina dapat mencapai
plasenta, kemudian masuk ke cairan kolostrum dan kelenjar mammae (Febrianti
2015). Larva Toxocara tersebut tertahan selama beberapa
waktu sebagai larva hypobiosis (arrested larva) (Davila et al.
2010 dalam Winarso et al. 2015).
Apabila inang tempat larva hypobiosis tersebut
adalah sapi betina, menjelang periode partus, larva hypobiosis di jaringan
induk embali teraktifkan dan bermigrasi ke kelenjar susu (Van Der Steen et al. 2014 dalam Winarso et al. 2015). Larva
keluar bersama sekresi ambing, termasuk kolostrum (Neves et al. 2003 dalam Winarso et al. 2015) dan susu hingga 12 hari post partum (Abdel-Rahman dan
El-Ashmawy 2013 dalam Winarso et al. 2015) kemudian menginfeksi pedet yang menyusu. Setelah itu,
cacing dewasa berkembang di usus halus pedet dan molting pada hari ke-12, kemudian Toxocara embali menghasilkan
telur dalam jumlah besar setiap harinya (Anderson 2000 dalam Winarso et al. 2015). Telur cacing Toxocara vitulorum dapat berkembang ke tahap
infektif selama 7-12 hari pada suhu optimal 29-30oC.
Perkembangan
tersebut tidak terjadi pada suhu bawah 12oC. Beberpa peneliti
membuktikan bahwa telur cacing Toxocara vitulorum dapat bertahan hidup
di lingkungan selama beberapa bulan hingga mencapai dua tahun (Holland 2000
dalam Febrianti 2015).
Kematian cacing dewasa terjadi akibat masa hidup cacing ini tergolong
pendek, sekitar 35 ± 12 hari (Anderson 2000 dalam Winarso et al. 2015). Biasanya cacing dewasa
menua, mati, dan keluar dengan sendirinya dari inang (ekspulsi). Ekspulsi
cacing dewasa dapat berhubungan dengan perkembangan imunitas inang (Winarso
et al. 2015).
Patogenesis
Tanda-tanda
klinis toxocariasis pada hewan sangat bervariasi dan tergantung dari
umur hewan itu sendiri. Infeksi Toxocara vitulorum pada sapi lebih
banyak ditemukan pada anak sapi daripada yang dewasa. Pneumonia akan terlihat
pada anak sapi yang terinfeksi toxocara karena adanya migrasi larva ke
paru-paru. Selain itu, diare, dehidrasi, bulu berdiri dan nampak kusam, nafsu
makan menurun, lesu, pertumbuhan pedet terhambat. Infestasi dalam jangka lama
mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan (kekurusan) secara drastis dalam
waktu singkat bahkan berakhir dengan kematian. (Estuningsih 2005 dalam
Febrianti 2015) Pedet yang menderita toxocariasis akan kehilangan
bobot badan sebesar 16 kg pada umur 12 minggu dibanding pedet yang bebas
cacingan (Soulsby 1982 dalam Febrianti 2015).
Pedet yang bertahan hidup biasanya akan
mengalami gangguan pertumbuhan. Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada
pedet yang mati akibat serangan toxocariasis adalah terjadinya
peradangan pada saluran percernaan usus halus.
Gambar 2. Peradangan pada usus
halus pada pedet (Febrianti 2015)
Sapi dewasa yang terserang toxocariasis umumnya
tidak menunjukkan gejala yang jelas. Hanya saja, infestasi cacing T.
vitulorum pada sapi perah biasanya akan menurunkan kualitas susu karena
mengandung larva cacing ini (OIE 2005 dalam Febrianti 2015). Jika kejadian
toxocariasis di lapangan tidak terkontrol dengan baik maka prevalensi penyakit
ini bisa mencapai 100% dengan mortalitasnya mencapai 80% (Febrianti 2015).
Diagnosis
Infeksi paten T.vitulorum pada
anak kerbau atau sapi dapat didiagnosa secara tentative mulai dari tanda-tanda
klinis yang terlihat dan umur dari hewan-hewan tersebut.
Konfirmasi diagnosis harus dilakukan dengan sejarah
penyakit, adanya pneumonia dan ditemukan telur cacing Toxocara dalam
feses. Telur Toxocara berbentuk bulat, berwarna kecoklatan, permukaannya
berbintik-bintik, dan dinding luarnya sangat tebal (Duri 2015).
Pemeriksaan feses dengan uji apung merupakan
salah satu metode untuk mendeteksi adanya infeksi cacing. Feses segar diambil
langsung dari rektum dengan sarung tangan plastik. Setelah pengambilan,
permukaan sarung tangan dibalik sehingga feses berada di bagian dalam. Plastik
diikat sehingga sedapat mungkin tidak ada udara (Winarso et al. 2015).
Dengan uji apung tersebut, telur cacing akan mengapung dalam larutan garam
jenuh dan dapat dihitung dalam kotak hitung.
Uji apung dalam pemeriksaan telur Toxocara
spesifitasnya adalah 51%, sedangkan sensitivitasnya 100%. Pemeriksaan oleh
uji apung tersebut hanya bisa digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi paten,
sedangkan untuk mendiagnosa adanya infeksi prepaten bisa dilakukan dengan uji
serologis. Uji serologis dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) untuk mendeteksi antibodi T. vitulorum pada kerbau atau sapi
dengan menggunakan antigen Excretory/Secretory (ES) dari larva yang
infektif telah dikembangkan oleh Buzetti et al. (2001).
Pencegahan
Toxocara vitulorum menyebabkan
kematian yang tinggi pada hewan muda dibandingkan pada hewan dewasa. Oleh
karena itu, pencegahan dan pengendalian T. vitulorum perlu dilakukan
untuk menekan pertumbuhan dan infeksi
cacing tersebut. Pencegahan terhadap T. vitulorum dapat dilakukan
dengan atau tanpa bahan-bahan kimiawi. Tingkat kematian akibat infeksi T. vitulorum
lebih tinggi pada hewan muda dibanding hewan dewasa. Infeksi pada hewan
muda dapat terjadi pada saat baru lahir melalui induknya, maka pencegahan yang
paling efektif yaitu mencegah infeksi pada induknya. Pencegahan yang dilakukan
yaitu membuang manur sehingga dapat mengurangi kontaminasi terhadap telur T.
vitulorum. Jika hewan tidak dapat dijauhkan dari padang rumput yang
terkontaminasi, harus dilakukan pencegahan terhadap hewan tersebut dengan
pemberian anthelmentik serta desinfeksi kandang.
Pengendalian yang disarankan untuk
menekan tingkat kejadian penyakit akibat T. vitulorum adalah dengan melakukan
pengelolaan pengembalaan dan kesehatan hewan yang baik. Pengelolaan yang dapat
dilakukan misalnya mengistirahatkan kubangan lumpur selama beberapa bulan. Hal
ini dilakukan agar larva T. vitulorum menjadi inaktif karena larva tersebut
rentan terhadap sinar matahari dan
lingkungan yang kering. Rotasi pengembalaan juga dapat menekan jumlah T.vitulorum.
Rotasi pengembalaan dilakukan dengan membagi jumlah ternak ke dalam beberapa petak padang rumput,
kemudian digembalakan secara bergilir pada setiap area dengan memperpendek
waktu pengembalaan dan memperpanjang waktu istrahat (Woodhall dan Fiore 2014).
Pengobatan
Penggunaan Levamisole dapat membunuh
larva dari cacing T. vitulorum pada anak sapi 7 hari setelah infeksi
(Ossain et al. 1980). Pengobatan pada anak sapi dapat dilakukan pada
umur 2 – 3 minggu, kemudian diulangi 2 – 3 kali dengan selang waktu satu tahun. Pengobatan massal dilakukan
3 minggu setelah datangnya musim hujan, kemudian diulangi dengan selang waktu 6
minggu sampai permulaan musim kemarau. Pengobatan pada sapi bunting tidak
dianjurkan karena umur kebuntingan biasanya tidak diketahui dengan pasti dan
tidak akan efektif pada hewan yang sudah bunting tua. Selain itu, diperlukan
dosis yang lebih besar untuk hewan bunting.
Pengobatan juga dapat dilakukan dengan
pemberian antihelmentik berspektrum luas yang efektif terhadap cacing dewasa
dan larva di saluran pencernaan, seperti benzimidazole (albendazole,
febantel, fenbendazole, exfendazole, dll), levamisole,
dan beberapa golongan makrosiklik lakton (abamectin, doramectin,
eprinomectin, ivermectin, moxidectin, dll). Tidak semua
anthelmentik efektif terhadap larva migrans dan larva yang menetap pada
jaringan. Piperazine dapat mengurangi ekskresi telur T.vitulorum sebanyak
93% dalam waktu 7 hari setelah pengobatan (Terry 2013).
Simpulan
Toxocara
vitulorum mampu menginfeksi saluran pencernaan ternak ruminansia besar. Penyakit
Toxocariosis endemic di daerah tropis
(Indonesia) dan subtropis. Cacing ini mampu menyebabkan kematian yang
tinggi pada ruminansia besar muda (pedet), sehingga mampu merugikan para
peternak sapi dan kerbau. Penyakit ini dapat dicegah dengan rutin melakukan
rotasi penggembalaan dan menjaga sanitasi kendang. Penyakit ini dapat diobati
dengan obat antihelmentik berspektrum luas seperti benzimidazole, levamizole,
dan beberapa golongan makrosiklik lakton.
Daftar Pustaka
Agustina KK, Dharmayudha, Wirata IW. 2013. Prevalensi Toxocara
vitulorum pada induk dan anak sapi bali di wilayah Bali Timur. Buletin
Veteriner Udayana. 5(1): 1-6.
Buzetti WA, Machado RZ, Zocoller MC. 2001. An
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for detection of antibodies against Toxocara
vitilorum in water buffaloes. Veterinary Parasitology. 97(2001):
55-64.
Duri RO. 2015. Deteksi Toxocara vitulorum pada
kerbau perah (bubalus bubalis) di Kabupaten Enrekang [skripsi]. Makassar
(ID): Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar.
Febrianti S. 2015.
Prevalensi toxocariasis pada sapi bali di Kabupaten Maros[skripsi].
Makassar (ID): Program Studi Kedokteran
Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.
Holland C dan Smith HV. 2006. Toxocara: The
Enigmatic Parasite. Wallingford (UK): CABI Publishing.
Ossain MI, Dewan ML, Baki MA. 1980. Preliminary
studies on the efficacy of tetramisole hydrochloride (ICI) against transmammary
migration of Toxocara (Neoascaris) vitulorum larvae in buffalo
cows. Bangladest J. Agic. Sci. 7: 25-28.
Terry JA. 2013. The use of duddingtonia flagrans for
gastrointestinal parasitic nematode control in feces of exotic artiodactylids
at Disney’s animal kingdom[tesis]. Lousiana (US): Lousiana State University.
Winarso A, Satrija F, Ridwan Y. 2015. Faktor risiko
dan prevalensi infeksi Toxocara vitulorum pada Sapi potong di Kecamatan
Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 20 (2):
85-90.
Woodhall DM dan Fiore AE. 2014. Toxocariasis: a review
for pediatricians. J Pediatric Infect Dis Soc. 3(2): 154-9.
Yudha HW, Susanty VDI, Retnani BE. 2014.
Identifikasi dan Program Pengendalian toxocara vitulorum pada Ternak Ruminansia
Besar. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Comments
Post a Comment