Diphylloborthriosis dan Spirometriosis pada Anjing dan Kucing

 

Diphylloborthriosis dan Spirometriosis pada Anjing dan Kucing



 

Artikel jurnal yang dijadikan bahan acuan pada makalah ini ada sebanyak jurnal yang membahas tentang Diphylloborthriosis dan Spirometriosis pada anjing dan kucing. Topik bahasan makalah ini memuat definisi Diphylloborthriosis dan Spirometriosis serta endoparasit yang menyebabkannya, termasuk siklus hidup endoparasit terkait, gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut, proses penyembuhan dan cara menghindarinya. Tujuan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang Diphylloborthriosis dan Spirometriosis pada anjing dan kucing agar dapat menanggulangi dan mencegah penyebaran penyakit tersebut.

Menurut literasi, Diphylloborthriosis dan Spirometriosis kerap menular melalui ikan atau vertebrata air lainnya yang dikonsumsi secara mentah atau melalui proses pemasakan yang kurang baik, dengan kata lain, setengah matang. Selain itu, penyakit tersebut dapat pula tertular melalui kebiasaan anjing dan kucing yang suka berburu hewan liar yang ditemuinya di alam. Diphylloborthriosis dan Spirometriosis cenderung sulit untuk dideteksi pada fase awal-awal infeksi karena tidak menunjukkan gelaja klinis yang signifikan. Gejala klinis yang terlihat pada anjing dan kucing yang terinfeksi penyakit tersebut perlahan-lahan muncul seiring bertambah parahnya manifestasi cestoda terkait.  Oleh karena itu, pemilik hewan diharapkan untuk dapat lebih selektif dan waspada terhadap pakan dan perilaku anjing dan kucingnya. Selain itu, pemilik diharapkan untuk peka terhadap perubahan sekecil apapun yang ditunjukkan anjing dan kucingnya agar deteksi endoparasit dapat dilakukan sedini mungkin.

 

Kata kunci : Diphylloborthriosis, Spirometriosis, endoparasit, zoonosis

 

 


Pendahuluan
 
Diphylloborthriosis dan Spirometriosis merupakan jenis infeksi Cestoda air yang kerap menyerang anjing dan kucing. Hal ini karena anjing dan kucing sebagai hewan pemburu senang memakan hewan-hewan air, bahkan dalam keadaan mentah. Meskipun banyak pemilik kucing dan anjing sudah memberikan pakan yang diformulasikan pabrik, beberapa dari pemilik masih memiliki kecenderungan untuk memberi makan hewannya dengan makanan homemade yang diformulasikan dari bahan mentah.
Ruang lingkup infeksi Diphylloborthriosis dan Spirometriosis menjadi lebih beragam dan meluas dengan meningkatnya popularitas ikan mentah yang mengandung makanan dan distribusi global cepat bahan makanan segar (Lucius et al. 2017). Oleh karena itu, makalah ini dibuat agar dapat meningkatkan wawasan mengenai Diphylloborthriosis dan Spirometriosis agar penyebarannya pada kucing dan anjing dapat ditekan.
 
Definisi Diphylloborthriosis

Diphylloborthriosis adalah infeksi zoonosis yang disebabkan cestoda Diphyllobothrium latum atau  spesies serupa lainnya (misalnya, Diphyllobothrium nihonkaiense, Diphyllobothrium dendriticum, Adenocephalus pacificus, Diplogonoporus balanopterae). Inang antara dari cacing ini adalah ikan. Oleh karena itu, penyakit ini menjadi endemik di daerah-daerah yang lazim bagi penduduknya untuk mengonsumsi ikan mentah atau acar (Chernin 2000).

Chernin (2000) juga menyatakan bahwa Diphyllobothrium sp. merupakan parasit pada usus manusia dan karnivora pemakan ikan. Pada manusia, cacing dewasa dapat mencapai panjang 10 m. Cacing ini tumbuh sekitar 5 cm perhari, melepaskan hingga 1 juta telur perharinya, dan dapat bertahan selama 10 tahun. Produksi telurnya yang tinggi ini membuat air pada daerah habitatnya dapat terkontaminasi dengan sangat cepat. Selain manusia, anjing dan kucing merupakan hewan yang lazim terinfeksi parasit ini

.

Definisi Spirometriosis

Spirometriosis adalah infeksi zoonosis yang ditularkan oleh cacing pita Spirometra sp. Spirometra adalah genus pseudophyllid cestodes yang berkembang biak pada gigi taring karnivora dan kucing, tetapi juga dapat menyebabkan kondisi patologis pada manusia jika terinfeksi. Setelah dewasa, cacing pita ini hidup di usus kecil inang definitifnya dan menghasilkan telur yang keluar bersama kotoran hewan. Pada manusia, infeksi Spirometra sp. disebut sparganosis.

 

Siklus hidup Diphylloborthria sp.

Sumber: Center of Disease Control and Prevention

 

Telur Diphylloborthria sp. yang belum memiliki embrio keluar bersama tinja inang definitif. Telur yang berada dalam air akan mengalami embrionisasi dalam  waktu sekitar 18 – 20 hari. Setelah itu, embrio akan menjadi onkosfer yang berkembang menjadi coracidia (onkosfer yang bersilia). Setelah dimakan inang antara pertama, coracidia yang telah kehilangan silia menembus dinding usus inang antara dan berkembang menjadi larva procercoid.

Ketika inang antara 1 dimakan oleh inang antara 2, yaitu ikan kecil, larva procercoid bermigrasi ke dalam otot ikan dan berkembang menjadi larva plerocercoid (sparganum). Larva plerocercoid merupakan bentuk infektif bagi manusia. Ikan kecil yang mengandung sparganum dimakan oleh ikan yang lebih besar. Sparganum yang bermigrasi ke otot-otot ikan besar  kemudian dapat menginfeksi manusia apabila ikan tersebut dimakan mentah atau setengah matang. Larva plerocercoid kemudian berkembang menjadi dewasa dan tinggal di usus halus. Cacing dewasa menempel pada mukosa usus dengan menggunakan dua bothria  pada scolex (Lucius et al. 2017).


Siklus hidup Spirometria sp.

Sumber: Center of Disease Control and Prevention

 

Cacing dewasa dari spesies Spirometra sp. hidup di usus kecil dari inang definitif, yaitu anjing, kucing, rakun, atau mamalia lain,  hingga 9 tahun. Saat itu, Spirometra sp. menghasilkan banyak telur. Saat inang defekasi, telur-telur tersebut ikut keluar bersama tinja dan  menetas menjadi coracidia saat mencapai air tawar. Telur kemudian dimakan oleh Copepoda, yang dianggap sebagai inang antara pertama. Dalam rongga tubuh Copepoda, telur berkembang menjadi larva procercoid dan menetap hingga siklus hidupnya dapat berlanjut.

Inang antara kedua termasuk ikan, reptil, atau amfibi yang memakan copepoda sambil minum air. Procercoid menembus saluran usus dari inang antara kedua, kemudian berkembang menjadi larva plerocercoid dan bermigrasi masuk ke jaringan dan otot subkutan. Setelah itu, inang perantara kedua dapat dimakan oleh ikan atau hewan yang lebih besar, tetapi larva plerocercoid tidak akan berkembang ke tahap perkembangan lebih lanjut dan hanya akan masuk kembali ke jaringan subkutan dan otot dari inang antara yang baru.

 Jika inang antara kedua tambahan ini tidak dimakan oleh inang induk, maka inang antara kedua pada akhirnya akan dimakan oleh pemangsa inang definitif, biasanya kucing. Kemudian siklus hidupnya akan dimulai lagi. Manusia adalah inang yang tidak disengaja dalam siklus tersebut. Manusia dapat terinfeksi oleh larva plerocercoid dengan menelan inang perantara pertama atau kedua, terutama tanpa dimasak dengan baik terlebih dahulu. Larva bermigrasi ke jaringan subkutan pada manusia. Meskipun begitu, tidak ada perkembangan lebih lanjut yang terjadi pada manusia, sehingga manusia tidak mampu menularkan penyakit Spirometriosis (Liu et al. 2015).

 
Gejala Klinis Diphylloborthriosis
Menurut Scholz dan Kuchta (2016), gejala klinis yang terjadi pada anjing yang terinfeksi Diphyllobothria sp. tidak terlihat jelas pada awalnya. Penyakit ini biasanya tidak menimbulkan gejala berat, mungkin hanya gejala saluran cerna seperti diare, tidak nafsu makan dan tidak enak perut. Lucius et al. (2017) juga mengatakan, Diphyllobothriasis pada awalnya biasanya tidak menunjukkan gejala infeksi. Hal ini dapat terjadi selama beberapa tahun. Indikator paling umum yang menunjukkan adanya Diphylloborthriosis adalah terdapatnya proglottid dalam tinja.
Setelah cukup lama bermanifestasi, Diphyllobothria sp. yang hidup di permukaan usus halus dapat menimbulkan anemia hiperkrommakrositer karena cacing ini banyak menyerap vitamin B12. Selain gejala defisiensi vitamin B12, apabila Diphyllobothria sp. Terdapat dalam jumlah banyak, dapat terjadi sumbatan usus secara mekanik atau terjadi obstruksi usus, karena kumpulan cacing-cacing itu menjadi seperti benang kusut (Scholz dan Kuchta 2016).
Samosir et al. (2019 mengatakan), dalam kucing yang terinfeksi Diphyllobothria sp.,  kondisi pencernaan tidak normal. Hal ini terlihat dari ditemukannya cacing sekitar ± 10 cm di dalam anus kucing setelah buang air besar dan konsistensi feses kelas 3.5 lunak, tetapi masih berbentuk. Proglottid dalam kotoran dapat diidentifikasi secara mikroskopis.
 
Gejala Klinis dan Diagnosis Spirometriosis
Infeksi Spirometra sp. dewasa dapat dikaitkan dengan penyakit gastrointestinal pada anjing dan kucing. Tanda-tanda klinis yang telah dilaporkan termasuk diare, penurunan berat badan, dan muntah yang biasanya sembuh setelah terapi anthelmintik yang sesuai (Lee et al. 1990).
Infeksi Spirometra sp. pada hewan dapat dikenali melalui feses. Proglottid dari Spirometra sp. dapat pecah dan bekrakhir di tinja bersama dengan telur. Proglottid dapat diidentifikasi secara mikroskopis sebagai dalam ordo Pseudophyllidea karena mereka memiliki pori-pori medial genital, tetapi genus cacing yang sebenarnya tidak dapat secara spesifik diidentifikasi dari proglottid saja. Kekhususan genus atau spesies cacing memerlukan diferensiasi berdasarkan morfologi uterus dan telur (Nagamori et al. 2020)
 
Penanganan Diphylloborthriosis dan Spirometriosis

Tahun 1971, pengobatan yang dilakukan untuk mengobati Diphyllobothriosis adalah dengan pemberian atabrine. Sejak saat itu sampai tahun 1986, pemberian niclosamide bithionol, atau praziquantel digunakan. Akan tetapi, sejak 1987 hingga sekarang, praziquantel telah digunakan sebagai obat pilihan (Lee et al. 2007).

Pengobatan untuk Spirometriosis dengan pemberian terapi anthelmintic seperti halnya praziquantel. Pemberian obat ini dilakukan dengan dosis tinggi yang berkepanjangan. Hal itu diperlukan untuk sepenuhnya menyelesaikan penyakit klinis ini (Little dan Ambrose 2000).

 
Pencegahan Diphylloborthriosis dan Spirometriosis

Banyak langkah pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah Diphyllobothriosis dan Spirometrosis terjadi pada anjing dan kucing. Salah satunya adalah dengan mencegah atau mengurangi pemangsaan secara liar dan kegiatan memulung di alam bebas oleh anjing dan kucing. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menjaga mereka untuk tetap berada di dalam rumah, atau area yang dapat dipantau kebersihannya setiap saat. Ketika akan dibawa jalan-jalan, hewan sebaiknya dibatasi pergerakannya dengan tali. Cara-cara ini dapat dilakukan untuk membatasi kemungkinan  bagi anjing dan kucing untuk mendapatkan infeksi dari Spirometra  sp. dan Diphyllobothrium sp.

Anjing dan kucing juga sebaiknya tidak diberi pakan ikan atau hewan air lainnya dalam keadaan mentah atau kurang matang (Samosir et al. 2019). Hal tersebut dikarenakan vertebrata air ini merupakan inang perantara yang mengandung larva infektif (plerocercoid). Anjing dan kucing dapat terinfeksi cacing pita dengan memakan daging mentah atau ikan bahkan dengan menelan serangga tertentu (Georgi 1987). Pemilik hewan diharapkan lebih bijak lagi dalam memilih pakan dan memantau perilaku hewan peliharaannya.

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Andersen UV, Howe DK, Olsen SN, Nielsen MK. 2013.Recent advances in diagnosing pathogenic equine gastrointestinal helminths: the challenge of prepatent detection. VetParasitol. 192: 1–9.

Chernin J. 2000. Parasitology – Lifeline (Modules in life sciences). London(UK): CRC Press.

Georgi JR. 1987. Tapeworms. Elsevier. 17 (6): 1285-1305.

Hu DD, Cui J, Wang L, Liu LN, Wei T, Wang ZQ. 2013. Immunoproteomic analysis of the excretory-secretory proteins from Spirometra mansoni sparganumIranian Journal of Parasitology8(3): 408–16.

Lee EB, Song JH, Park NS, Kang BK, Lee HS, Han YJ, Kim HJ, Shin EH, Chai JY. 2007. A case of  Diphyllobothrium  latum infection  with a brief review  of diphyllobothriasis  in the Republic of Korea. Korean J. Parasitol. 45 (3): 219-223.

Lee SH, We JS, Sohn WM, Hong ST, Chai JY. 1990. Experimental life history of Spirometra erinacei. Korean J Parasitol. 28(3):161-173.

Liu LN, Zhang X, Jiang P, Liu RD, Zhou J, He RZ, Cui J, Wang ZQ. 2015. Serodiagnosis of sparganosis by ELISA using recombinant cysteine protease of Spirometra erinacei europaei sparganaParasitology Research114 (2): 753–7.

Little S, Ambrose D. 2000. Spirometra infection in cats  and  dogs.  Compendium. 22 (4): 299-305.

Lucius R, Loos-Frank B, Richard PL, Robert P, Craig WR, dan Richard KG. 2017. The Biology of Parasites. Weinheim(GE): Wiley-VCH Verlag GmbH and Co. KGaA.

Nagamori Y, Payton ME, Looper E, Apple H, Johnson E M. 2020. Retrospective survey of endoparasitism identified in feces of client-owned dogs in North America from 2007 through 2018. Veterinary Parasitology. 277:109008.

Samosir H, Putriningsih PAS, Suartha N. 2019. Case report: Sparganosis in domestic cat. Indonesian Medicus Veterinus. 8 (1):26-33.

Scholz T dan Kuchta R. 2016. Fish borne, zoonotic cestode (Diphyllobothrium and relative) in cold climates: a never ending story of neglacted and (re)emergent parasites. Food and waterborne parasitology. 4(2016):23-38


Comments

Popular posts from this blog

Laporan wawancara budidaya ikan konsumsi ( ikan lele )

Makalah atau Laporan Osmosis Pada Telur

Tegak kaki dan diagnose kepincangan kuda-sapi

Perencanaan Menghadapi Musim Kemarau Sistem Penggembalaan Terbuka Secara Komersial

Data Apa Saja yang Bisa Dihasilkan Oleh Teknologi RFID dalam Industri Peternakan

Berapa Luas Lahan Yang Dibutuhkan untuk Menggembalakan Sapi di Perkebunan Sawit

Kasus Cystolithiasis Akibat Infeksi pada Anjing

Translate

Pageviews last month

terima kasih

jangan lupa datang kembali, komen, dan request