PATOGENESIS DAN GEJALA KLINIS C. PARVUM
Patogenesis
Interaksi pertama C. parvum adalah
invasi sel epitel mukosa. Peristiwa yang terjadi tergantung pada daya tahan
parasit dan status imun inang. (Caccio et al. 2014 dalam Apsari 2014).
Menurut hasil penelitian Apsari (2014), ookista
Cryptosporidium yang tertelan oleh inang akan mengalami eksitasi dan
mengeluarkan sporozoit setelah mencapai lumen usus halus. Sprozoit akan melekat
pada sel epitel, kemudian melakukan invasi menggunakan beberapa ligand dan
protein khusus. Proses invasi ini menyebabkan pemendekan villi usus dan
proliferasi sel infiltrat yang berada di bawah lapisan epitel. Perlekatan
sporozoit yang dimediasi ligand-reseptor memicu aktin sitoskeleton membentuk
vakuola parasitoporus yang berperan dalam perkembangan parasit dan mengeluarkan
efek dari inang dan sel disekitarnya. Kapsul parasitoporus membungkus tropozoit
dan schizont yang merupakan derivat dari mikrovilli, kemudian menyatu dengan
inang. Apikal sitoplasma dari sel epitel kemudian dibungkus oleh membran sel
inang sehingga organel tersebut terletak intraseluler namun bersifat
ekstrasitoplasmik (Mekonnen et al. 2016 dalam Apsari 2014)
Kerusakan sel enterosit monolayer inang terjadi
selama perusakan tight cell juction. Sel tersebut akan kehilangan fungsi
pelindungnya, kemudian terjadi pengeluaran laktat dehidrogenase dan peningkatan
laju kematian sel. Mekanisme yang menyebabkan kerusakan sel selama infeksi Cryptosporidium
sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa molekul dapat merusak
jaringan secara langsung seperti fosfolipase, protease, dan hemolisin. Protease
mempunyai peran penting dalam daur hidup parasit, seperti fungsi mediasi,
degradasi protein, invasi ke sel inang, dan evasi imun inang. Aktifitas
protease Cryptosporidium telah diidentifikasi pada sporozoit, seperti:
aminopeptidase, sistein protease, dan serine protease yang berimplikasi pada
proses eksitasi. Identifikasi fungsi protease selama eksitasi dan pencegahan
infeksi yang terjadi karena protease inhibitor menunjukkan pentingnya peran
protease pada fase awal infeksi Cryptosporidium (Caccio et al.
2014 dalam Apsari 2014). Apoptosis atau kematian sel terprogram terjadi sebagai
respon infeksi patogen. Apoptosis terjadi sebagai defensif mekanisme dan
regulasi respon inang terhadap patogen baik invasif maupun noninvasif (Deng et
al. 2004 dalam Apsari 2014).
Gejala
klinis
Protozoa C. parvum dikenal
sebagai parasit obligat intraseluler (CDC 2005 dalam Artama et al.
2014). Parasit ini bersifat sangat patogen, serta dapat menyerang mamalia
herbivora, seperti sapi. Secara klinis, infeksinya ditandai diare dan dapat
bersifat kronis pada individu immunocompromise (Paul dan Nichols 2002
dalam Artama et al. 2014).
Status imun memiliki dampak terhadap keparahan
dan lamanya infeksi. Diare yang disebabkan oleh parasit ini berkisar dari
ringan sampai berat, dan mulai dari beberapa hari sampai dengan lebih dari satu
bulan, tergantung dari status imun inang (Bazeley 2003 dalam Artama et al.
2014). Infeksi pada individu imunkompeten biasanya menimbulkan diare yang tidak
berlangsung lama (<2 minggu) dan dapat sembuh sendiri tanpa obat. Sebaliknya
pada individu immunocompromise, infeksi yang sama akan menjadi progresif.
Infeksi progresif ini menimbulkan diare seperti kolera yang berlangsung lama
dan dapat menimbulkan kematian. Hal ini juga yang menyebabkan pada kasus
immunodefisiensi, khususnya AIDS, kriptosporodiosis berlangsung lebih lama dan
dapat menyebabkan kematian (Artama et al. 2014)
Penderita kriptosporodiosis memiliki
manifestasi gejala klinis yang bervariasi sesuai dengan status kekebalan inang.
Pedet berkemungkinan memiliki sistem kekebalan yang belum sempurna jika
dibandingkan dengan sapi dewasa. Oleh karena itu, infeksi Cryptosporidium pada
pedet lebih tinggi daripada sapi dewasa. Kualitas kolostrum yang bermutu buruk
juga merupakan predisposisi terjadinya kriptosporodiosis pada pedet (Sischo et
al. 2010 dalam Artama et al. 2014). Pada hewan dewasa, infeksi
nampak tidak begitu menonjol dibandingkan dengan pedet. Hal ini disebabkan
adanya peran sistem kekebalan yang telah terbentuk sehingga kriptosporodiosis
dapat terjadi secara asimptomatis mencapai 80% (Meloni dan Thomson 1996 dalam
Artama et al. 2014; Nizeyi et al. 2002 dalam Artama et al.
2014).
Daftar Pustaka
Artama
I, Cahyaningsih U, Sudarnika E. 2014. Prevalensi infeksi Cryptosporidium
parvum pada sapi Bali di dataran rendah dan dataran tinggi di Kabupaten
Karangasem Bali. JITV. 19(3): 926-933.
Apsari
PIB. 2020. Patogenesis infeksi cryptosporidium. Wicaksana: Jurnal
Lingkungan dan Pembangunan. 4(1): 6-14.

Comments
Post a Comment